Solo, saya sangat terkesan dengan kota ini. Kota kecil yang terletak sekitar 70 km sebelah tenggara Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) itu selalu mengalirkan energi inspirasi.
Ya, siapa sangka kota seluas 44,03 km² ini menjadi satu-satunya kota di Indonesia yang menjadi bagian dari perkumpulan kota-kota dunia yang memiliki warisan sejarah dan budaya yang unik. Bahkan, dengan dikomandoni Pak Walikota Joko Widodo kala itu, Solo unjuk gigi dengan ambil bagian menjadi tuan rumah penyelenggaraan konferensi Internasional Kota-kota Warisan Dunia (World Heritage Cities Conference and Expo/WHCCE) yang digelar pada 25-30 Oktober 2008. Saingannya menurut Jokowi seperti dikutip Majalah Venue, edisi Oktober 2008, sangat berat. Solo harus berhadapan dengan Rusia, Austria, Korea Selatan, dan Pakistan.
![]() |
Salah satu rangkaian karnaval WHCCE. Foto : Kompas |
Bermodal tekad kuat dari Sang Walikota, Solo berani berstrategi dengan menggratiskan biaya penginapan dan makanan kepada seluruh peserta konferensi. Demi sebuah promosi, rasanya uang Rp 400 juta yang dikeluarkan Pemkot untuk meng-cover biaya penyelenggaraan konferensi itu tak besar. Di sisi lain, dukungan dari berbagai pihak yang antusias agar kotanya mendunia juga patut diapresiasi. Seperti dukungan dari pengusaha hotel, restoran, para seniman, agen perjalanan yang saling bersinergi menjamu tamu lebih dari 1.000 delegasi, terdiri dari walikota se-Asia Pasifik, negara anggota United Cities and Local Government (UCLG) Euro-Asia, Asosiasi Pemerintahan Kota Seluruh Indonesia, LSM, dan perwakilan perguruan tinggi seluruh Indonesia. Mereka itulah agen promosi tentang Solo, pikir Jokowi kala itu.
Berbagai acara kesenian diantaranya Solo International Ethnic Music, Solo Batik Sale, Borobudur Travel Mart dan International Keroncong Fest dirapatkan jadwalnya sehingga peserta konferensi bisa menyaksikan rangkaian acara tersebut. Hotel dan restoran pun berlomba menyajikan hidangan khas Solo yang lezat. Tidak ketinggalan, pedagang kaki lima yang telah direlokasi dari Banjarsari ke Pasar Klitikan juga menawarkan nuansa eksotisme pasar tradisional yang bersih dan penuh keramahtamahan.
Debut Solo dalam penyelenggaraan event MICE –WHCEE waktu itu memang fenomenal. Orang selama ini lebih banyak mengenal Yogyakarta sebagai destinasi unggulan di Jawa Tengah, sekonyong-konyong harus menengok ke Solo. Terlebih dengan jargon kampanye Solo yang sepertinya sempat pula membuat Yogyakarta terperangah yaitu Let’s Go to Solo, the Spirit of Java.
Yogyakarta dan Solo memang memiliki warisan budaya Jawa yang kuat. Keduanya memiliki keraton dan tradisi budaya Jawa yang mengakar. Ini hanya masalah strategi, kata Jokowi, untuk menjemput wisatawan agar mau berkunjung juga ke Solo setelah dari Yogyakarta. Sang walikota yang juga seorang pengusaha mebel itu sepertinya memang memiliki penciuman yang tajam untuk mendongkrak APBD melalui sektor pariwisata dan bisnis MICE (Meeting, Incentive, Conference and Event). Pariwisata sedang booming, MICE pun menjadi trend di dunia. Apalagi Solo, yang notabene tidak memiliki lahan pertanian atau wisata alam yang mumpuni, otomatis harus berfikir kreatif bagaimana bisa tetap ungguL, syukur bisa bersanding dengan Bali.
![]() |
Orisinilitas hasil kerajinan Solo menarik perhatian turis asing, Foto : Solopos |
![]() |
Seni gamelan merupakan salah satu ciri khas pertunjukan di Solo. Foto : chic-id.com |
Tentang Yogyakarta, justru Jokowi tidak ingin berkompetisi. Sebagai sesama daerah yang berlatar belakang budaya Jawa, Jokowi pada waktu itu ingin membangun sinergisitas yang saling memakmurkan. Apa yang tidak ada di Yogyakarta, bisa dilihat dan dibuat di Solo. Begitu pula sebaliknya. Bandara Adi Sumarmo yang telah berpredikat sebagai bandara internasional pun bisa menjadi bandara internasional antar keduanya.
Solo Masa Depan adalah Solo Masa Lalu
Terlepas dari figur Pak Jokowi yang piawai meramu formula untuk membangun imej Solo. Yang harus digarisbawahi, sebuah kota apapun itu, memang harus dibangun dengan identitas yang jelas. Harus memiliki visi dan karakter yang khas, bersumber dari potensi dan kelebihan yang dimiliki. Dengan begitu, segala pembangunan ke depannya terarah dan berkembang optimal.
Solo the Spirit of Java pun mantab mengejawantah dalam brand kota yaitu “ Solo Masa Depan adalah Solo Masa Lalu”. Visinya bahwa Solo masa depan sesungguhnya adalah Solo yang tradisional. Membangun keunikan tanpa melupakan sejarah kejayaan masa lalu. Solo masa lalu merupakan salah satu pusat budaya Jawa. Inilah button-nya, untuk mengarahkan perkembangan kota dan dinamisasi yang tetap mengusung pada khasanah budaya Jawa.
![]() |
Gladag Langen Bogan, salah satu lokasi kuliner khas Solo. Foto : Surakarta.go.id |
![]() |
Tengkleng, salah satu kuliner lezat di Solo |
Bersinergi dengan jalan tersebut, Pemerintah Kolonial juga membangun kantor pos, telepon, jalan kereta api, dan taman rekreasi pada pertengahan abad ke-19. Pada tahun 1931, Solo sudah memililki jalan aspal sepanjang 530 km untuk menghubungkan dengan kota-kota di sekitarnya seperti Yogya, Semarang dan Madiun. Makanya tak heran, Solo menjelma menjadi kota moderen di masanya.
Berbagai acara berkaliber nasional dan internasional pernah dihelat di Solo. Sebut saja, diantaranya Kongres Bahasa Indonesia I (1938), Kongres Wartawan Indonesia I (1946) dan Pekan Olahraga Nasional (PON) tahun 1948. Bercermin dari perjalanan sejarah, sepak terjang Solo menjadi tuan rumah penyelenggaraan berbagai acara, membuat Jokowi yakin benar, Solo bakal berkembang menjadi kota MICE yang diperhitungkan. Bukan hanya di Indonesia, sekaligus juga dunia.
![]() |
Sejumlah wisatawan tengah menikmati Solo city tour naik kereta api uang Jaladara. Foto : Solopos |
Jokowi yang menjadi walikota selama dua periode itu yakin sekali dengan visi dan sistem yang kuat, bukan tidak mungkin Solo menjadi seperti Koin, sebuah kota kecil di Jerman atau New Souh Carolina di Amerika Serikat yang penduduknya sejahtera dari aktivitas MICE. Asalkan, tetap konsisten memgang teguh kekuatan seni dan budaya, pondasi Solo.
Mengail Turis dengan Event MICE
MICE (Meeting, Incentive, Convention, Exhibition/Event) kini sudah menjadi makanan di Solo. MICE kerap diperbincangkan dan menjadi policy. Event yang merupakan amunisi industri MICE ini harus diciptakan dan dikejar, tidak bisa hanya menunggu event luar masuk ke Solo.
Masing-masing komponen memang tengah giat membuat perjamuan yang berkualitas. Tata ruang kota dipercantik, kuliner tradisional disemarakkan, pasar tradisional ditingkatkan layanannya, Pedagang Kaki Lima (PKL) didisiplinkan, SDM pariwisata dipersiapkan, kawasan heritage dan kampung-kampung batik dipelihara. Begitu juga fasilitas dan sarana prasarana yang mendukung MICE terus diperbaiki.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2010 hanya ada 79 hotel dengan jumlah kamar 1.916 unit di Solo, tetapi pada 2012 melonjak hingga dua kali lipat menjadi 142 hotel melati dan berbintang serta pondok-pondok wisata dengan jumlah kamar mencapai 4.533 unit. Kepala Badan Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Kota Solo, Toto Amanto mengatakan, dari 2011 hingga 2013 berjalan, ada 42 pengajuan pembangunan hotel, 22 pengajuan di antaranya segera memasuki masa pembangunan karena telah mengantongi izin mendirikan bangunan.
Bergairahnya industri hotel memang menjadi indikator keberhasilan Solo mencitrakan dirinya sebagai kota MICE. Jumlah wisatawan yang menginap di hotel di Solo, angkanya juga berbanding lurus dengan pertambahan jumlah hotel.
![]() |
Bus Werkudara, bis tingkat wisata di Solo. Sumber : Marketeers |
Menurut BPS, tahun 2010, wisatawan mancanegara yang menginap tercatat 16.880 orang, sementara wisatawan nusantara 925.661 orang. Pada 2012, jumlah wisatawan mancanegara yang menginap di hotel 32.932 orang, dan wisatawan nusantara mencapai 1.287.334 orang. Meningkatnya jumlah wisatawan menurut Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Solo, Widdi Srihanto, selain dipicu oleh daya tarik budaya dan pariwisata, Solo juga dinilai aman dan nyaman serta memiliki akses yang lengkap.
Untuk event, selain mengail event dan acara MICE dari luar daerah. Dinas kebudayaan dan pariwisata Solo juga telah memiliki agenda event tetap. Tiap tahun kurang lebih ada 40 event digelar. Untuk tahun 2014, Disbudpar kota Solo telah menetapkan sebanyak 45 event seni dan budaya, 18 event diantaranya merupakan event utama seperti Rock in Solo, Konser Gamelan Akbar, Vastenburg Carnival,Indonesia Mask Dance Festival, dan Keraton Art Festival. Tidak ketinggalan Solo Batik Carnival pun menjadi event yang selalu ditunggu wisatawan. Festival Jenang yang untuk kali ketiga dihelat juga mulai memiliki penggemarnya tersendiri.
![]() |
Turis asing tampak asyik membatik di suatu kampung batik di Solo. Foto : Ultimoparadiso |
Kalangan seniman yang notabene nadi kehidupan seni dan budaya di Solo dirangkul erat untuk membangun hubungan yang sinergis. Meski tak dimungkiri, untuk menuju kesempurnaan, Disbudpar Kota Solo juga kerap mendapatkan masukan yang membangun terutama kualitas event dan kedisiplinan waktu, karena menyangkut promosi. Keterlibatan komunitas terkait dan pelaku usaha dalam berbagai policy di bidang MICE dan pariwisata sangat diperlukan sebagai bentuk rasa sense of belonging yang tinggi terhadap kemajuan Solo.

Solo, ya atmosfer kenyamanan begitu terasa ketika beberapa tahun lalu aku menginjakkan kaki di kota ini dalam sebuah perjalanan silaturahmi ke rumah saudara di Yogyakarta. Jalan-jalan tertata rapi dengan taman-taman kota dan trotoar yang begitu memanjakan pejalan kaki. Belum lagi, wisata kuliner yang mudah dijumpai di setiap sudut kota. Solo.. aku ingin kembali mengunjungimu lebih lama dari sekedar transit.
Artikel ini diikutsertakan dalam lomba blog tentang Solo, kategori tema : kesan. Semoga bermanfaat dan bisa menjadi referensi Anda mengenal lebih dekat tentang Solo.
Artikel ini diikutsertakan dalam lomba blog tentang Solo, kategori tema : kesan. Semoga bermanfaat dan bisa menjadi referensi Anda mengenal lebih dekat tentang Solo.
No comments:
Post a Comment